SeriCerita Rakyat 34 Provinsi (Sulawesi Selatan) : La Dana Dan Kerbau Tanjung Duren Jalan Tanjung Duren Barat Raya No. 36 Koleksi Tidak Tersedia Perpustakaan Jakarta Timur - Jatinegara Jalan Jatinegara Timur IV, Rawa Bunga, Jatinegara Koleksi Tidak Tersedia
SulawesiBarat (disingkat Sulbar) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Sulawesi, Indonesia.Provinsi ini pernah menjadi bagian dari provinsi Sulawesi Selatan hingga tahun 2004. Ibukota provinsi Sulawesi Barat adalah Kabupaten Mamuju.. Pembentukan provinsi Sulawesi Barat merupakan hasil pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan yang didasarkan pada Undang-Undang
DaksinapatiBarat IV Rawamangun Jakarta Timur Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang CERITA RAKYAT-SULAWESI (TORAJA) 2. KESUSASTRAAN-ANAK. iii i Sambutan Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur
Vay Tiền Nhanh. Cerita Rakyat Sulawesi Barat Legenda Si Kembar Sawerigading dan Tenriyabeng Apa kabar sobat blogger Jombang dan kawan pembaca The Jombang Taste se-Indonesia? Pada artikel sebelumnya kita sudah mengulas cerita Legenda Putri Tandampalik dari Sulawesi Selatan dan kisah dongeng Suri Ikun dari Provinsi NTT. Berikut ini cerita legenda si kembar yang terpisah sejak kecil dari Sulawesi Barat, yaitu Sawerigading dan Tenriyabeng. Selamat membaca. Pada jaman dulu ada seorang pemimpin kerajaan dari keturunan Raja Langit yang bernama La Tiuleng. Raja itu memiliki gelar Batara Lattu. Batara Lattu dikaruniai dua anak kembar, yaitu seorang anak laki-laki yang diberi nama Lawe atau La Madukelleng, namun anak laki-laki itu lebih dikenal dengan sebutan Sawerigading. Sedang saudara perempuannya bernama We Tenriyabeng. Dua saudara kembar itu adalah keturunan raja dan kelak akan menjadi tokoh bersejarah dari Sulawesi Barat. Meskipun terlahir sebagai saudara kembar, Sawerigading dan We Tenriyabeng tidak dibesarkan bersama-sama. Mereka hidup terpisah sejak kecil sehingga satu sama lain tidak saling mengenal. Begitulah salah satu isi peraturan adat pada saat itu. Jika ada anak terlahir kembar, maka mereka harus dipisahkan sejak kecil. Jika itu tidak dilakukan, maka Dewa akan murka kepada penduduk. Kisah Cinta Terlarang Saudara Sedarah Waktu terus bergulir hingga bertahun-tahun lamanya. Sawerigading dan We Tenriyabeng telah tumbuh dewasa. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah-perkasa. Ia memiliki tubuh yang tegap dan berwajah tampan. Begitu juga dengan We Tenriyabeng telah menjadi gadis cantik. Rambutnya panjang terurai dan senyumnya sungguh menawan. Suatu ketika Sawerigading sedang berjalan di sebuah desa, tiba-tiba ia melihat gadis yang sangat cantik berlalu di hadapannya. Sawerigading jatuh cinta pada pandangan pertama. Gadis itu sungguh mempesona. Ia ingin sekali berkenalan dan menjalin kasih dengannya. Maka dengan mengumpulkan segenap keberanian diri, Sawerigading menyapa gadis cantik itu. “Siapakah namamu, wahai gadis cantik?” tanya Sawerigading. “Namaku We Tenriyabeng,” jawab We Tenriyabeng dengan tersipu. Perkenalan Sawerigading dan We Tenriyabeng pun berlanjut. Sawerigading mengutarakan keinginannya untuk menikahi We Tenriyabeng. Begitu pula dengan We Tenriyabeng ternyata jatuh cinta kepada Sawerigading. Hati Sawerigading dan We Tenriyabeng berbunga-bunga. Cinta mereka berdua ternyata saling berbalas. Mereka pun setuju untuk melangsungkan pernikahan secepatnya. Sesuai adat yang ada, sebelum dilaksanakan pernikahan maka kedua orang tua mereka harus dipertemukan. Sawerigading dan We Tenriyabeng saling mengundang ayah dan ibu masing-masing ke tempat pertemuan. Ketika keduanya sepakat untuk meminta restu kedua orang tuanya, betapa terkejutnya mereka mengetahui bahwa mereka adalah saudara kembar yang terpisah. “Jadi, engkau adalah saudaraku?” Sawerigading berkata dengan mata terbelalak. Ia hampir tidak mempercayai kenyataan ini. Hancurlah perasaan Sawerigading dan We Tenriyabeng. Sawerigading dengan hati sangat kecewa pergi meninggalkan Kerajaan Luwu dan bersumpah tidak ingin kembali. Sedangkan, We Tenriyabeng pergi entah ke mana. Tidak ada lagi penduduk Luwu yang bertemu dengan Sawerigading dan We Tenriyabeng. Keduanya terlanjur kesal karena merasa dipermainkan nasib. Berusaha Melupakan Masa Lalu Diceritakan bahwa Sawerigading yang ketika itu pergi mengembara akhirnya tiba di sebuah negeri Tiongkok. Di sana dikabarkan ia mengalahkan beberapa kesatria Kerajaan Tiongkok sehingga diangkat menjadi pemimpin para kesatria. Sawerigading terus belajar berperang dan menghimpun kekuatan. Ia tidak ingin mengingat kisah cintanya dengan We Tenriyabeng yang kandas ketika menjelang pernikahan. Namun kehidupan terus berputar. Kisah cinta Sawerigading ternyata belum berakhir, ia bertemu seorang putri cantik asal Tiongkok bernama Cudai. Setelah sekian lama, ternyata Sawerigading menjadi seorang kapten yang perkasa. Dalam perjalanannya, ia berlayar ke daerah Ternate di Maluku, Sumbawa, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sunda dan Malaka. Pekerjaan berlayar menjadikannya pemimpin yang kaya-raya. Setelah menikah, Sawerigading dikaruniai seorang anak laki-laki, ia bernama I La Galigo dan bergelar Datunna Kelling. Dikisahkan bahwa I La Galigo ketika dewasa menjadi seorang kapten kapal seperti ayahandanya. Namun, ia tidak pernah menjadi seorang raja. I La Galigo dikabarkan memiliki empat orang istri dari berbagai negeri. Ia pun karunia anak yang salah satunya bernama La Tenritatta. La Tenritatta adalah keturunan terakhir yang dinobatkan di kerajaan Luwu. Amanat cerita rakyat mengenai kisah saudara kembar Sawerigading dan We Tenriyabeng dari Sulawesi Barat ini adalah kita diharuskan mengenal saudara sendiri. Sesama saudara harus menjalin silaturahmi dengan baik. Sebab jika tidak mengenal kerabat sendiri bisa-bisa kita berbuat salah kepada saudara kita sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Barat ini bisa memberi manfaat untuk Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya. Artikel Terkait
Kalau bicara tentang cerita rakyat Sulawesi Selatan, ada cukup banyak cerita rakyat yang bisa kita pelajari dan mengandung pesan moral… Lanjutkan Membaca → Kalau bicara tentang cerita rakyat Sulawesi Selatan, cukup banyak cerita rakyat dari provinsi ini dan kesemuanya memiliki sisi moral yang… Lanjutkan Membaca → Legenda batu bagga ini memang sangat mirip dengan salah satu cerita rakyat yang berasal dari Sumatera Barat. Hmm kakak tidak… Lanjutkan Membaca → Kami sudah cukup banyak memposting Cerita Rakyat Cerpen dari Sulawesi Utara. Papa dan Mama bisa menggunakan menu pencarian jika ingin… Lanjutkan Membaca → Cerita rakyat Sulawesi Selatan yang akan kakak ceritakan di hari libur ini jangan sampai terlewatkan. Ceritanya sangat seru mengenai kisah… Lanjutkan Membaca → Hawadiyah ialah seorang gadis yatim miskin yang hidup di sebuah desa di kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang… Lanjutkan Membaca → Kisah Putri Tandampalik adalah contoh cerita rakyat singkat yang akan kami ceritakan malam hari ini. Kisah ini mengajarkan kita untuk… Lanjutkan Membaca → Kisah Panglima To Dilating merupakan cerita rakyat nusantara yang berasal dari Sulawesi. Cerita rakyat Indonesia ini pernah Kakak posting dengan… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Utara Ratu Adioa Suatu hari Ratu Wulanwanna menantang keberanian empat sahabatnya untuk membunuh orang tua mereka,… Lanjutkan Membaca → Kemenangan Sebuah Kejujuran sangat terlihat pada Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara ini. Siapapun orang yang jujur maka pada akhirnya Tuhan… Lanjutkan Membaca → Kebaikan hati La Sirimbone pada Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara membawa dia kepada keberuntungan. Orang yang baik hati akan disayangi oleh… Lanjutkan Membaca → Penyesalan seorang ibu pada Cerita Rakyat Sulawesi Tengah Legenda Putri Duyung menjadi hal yang sangat mengharukan. Amanat moral dari… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Utara yang paling dikenal dimasyarakat adalah Kisah Burung Kekekow. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara ini mengajarkan kita… Lanjutkan Membaca → Posting kali ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yaitu Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi yang cocok digunakan sebagai cerita… Lanjutkan Membaca → Blog sebagian besar berisi kumpulan dongeng cerita rakyat yang berasal dari nusantara. Lanjutkan Membaca → Definisi / Pengertian cerita rakyat Kisah Rakyat / Legenda Kisah Rakyat / Legenda / Cerita rakyat adalah cerita atau… Lanjutkan Membaca →
Hawadiyah ialah seorang gadis yatim miskin yang hidup di sebuah desa di kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang Mara`dia Raja Jawa datang melamarnya dan mengajaknya untuk menikah di Pulau Jawa. Namun, niat baik Mara`dia Jawa itu dihalang-halangi oleh seorang gadis bernama Bekkandari. Mengapa Bekkandari menghalang-halangi pernikahan Hawadiyah dengan Mara`dia Jawa? Kemudian, apa yang dilakukan Bekkandari untuk menghalangi pernikahan mereka? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Hawadiyah berikut ini. Diceritakan, pada zaman dahulu kala, hiduplah dua orang gadis yang tinggal di sebuah desa di kawasan Mandar. Gadis yang pertama bernama Bekkandari, sedangkan gadis yang kedua bernama Hawadiyah. Kedua gadis tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dari segi banyaknya harta. Bekkandari berasal dari keluarga yang sangat kaya. Ayahnya memiliki perkebunan kelapa yang luas dan usaha pembuatan minyak goreng. Sementara Hawadiyah seorang gadis yatim yang berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk reyot di ujung desa. Untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari, Hawadiyah bersama ibunya membantu usaha keluarga Bekkandari. Cerita Rakyat Nusantara Sulawesi Barat Hawadiah Pada suatu hari, Bekkandari bersama ayahnya sedang panen kelapa di kebunnya. Hawadiyah dan ibunya pun turut membantu mengumpulkan buah kelapa yang baru dipetik dari pohonnya. Setelah setengah hari bekerja, mereka pun selesai mengumpulkan ratusan butir kelapa. Sebelum Hawadiyah dan ibunya pulang, ayah Bekkandari memberi mereka lima butir kelapa sebagai upah. Sesampai di rumah, ibu Hawadiyah memarut dan memasak kelima butir kelapa tersebut untuk diambil minyaknya. Rencananya, ia akan menitipkan minyak kelapa itu kepada ayah Bekkandari untuk dijual ke Pulau Jawa. Pada suatu hari, terdengarlah kabar bahwa ayah Bekkandari akan segera berangkat ke Pulau Jawa. Mendengar kabar itu, beramai-ramailah penduduk menitipkan minyak kelapanya kepada juragan minyak itu untuk dijual kepada Mara`dia Jawa. Tidak ketinggalan pula ibu Hawadiyah, ia menitipkan minyak kelapanya yang disimpan dalam sebuah wadah bambu. Sebelum mengantar minyak kelapanya kepada ayah Bekkandari, terlebih dahulu ia membaca sebaris mantra lalu meniupkannya ke dalam bambu, dengan harapan Mara`dia Jawa akan tertarik dan jatuh hati kepada anaknya ketika melihat dan mencium bau minyak tersebut. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ayah Bekkandari bersama beberapa orang pekerjanya menuju ke Pulau Jawa dengan menaiki kapal pribadinya. Sudah lima hari lima malam mereka terombang ambing di tengah laut, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Padahal, perjalanan dari Teluk Mandar menuju Pulau Jawa biasanya hanya ditempuh selama tiga hari tiga malam. Hal itulah yang membuat juragan minyak kelapa itu menjadi panik dan bingung. ”Hei Nahkoda! Kenapa kita belum juga sampai di Pulau Jawa? Bukankah kita sudah lima hari lima malam di tengah lautan?” tanya ayah Bekkandari dengan perasaan cemas. “Maaf, Tuan! Saya juga tidak tahu apa gerangan penyebabnya. Padahal kecepatan kapal ini berada di atas rata-rata,” jawab nahkoda kapal itu. Mendengar jawaban itu, ayah Bekkandari terdiam sejenak. Ia bingung memikirkan penyebab keterlambatan kapalnya tiba di Pulau Jawa. Beberapa saat kemudian, ia pun teringat dengan sesuatu hal. Rupanya, ia lupa membawa minyak titipan ibu Hawadiyah. ”Mmm… jangan-jangan inilah penyebab keterlambatan perjalananku ke Pulau Jawa,” pikirnya dalam hati. Setelah benar-benar yakin bahwa hal itulah yang menjadi penyebabnya, ia segera memerintahkan kepada nahkodanya agar memutar haluan arah kapal. ”Nahkoda! Putar haluan arah kapal ini. Kita harus kembali ke Tana Mandar,” ujar si juragan kaya itu. ”Kenapa begitu, Tuan? Bukankah sebentar lagi kita akan sampai Pulau Jawa?” tanya nahkoda kapal bingung. ”Tidak mungkin! Kita tidak mungkin sampai di Pulau Jawa sebelum mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah,” jawab juragan minyak itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan diselimuti tanda tanya, si nahkoda kapal pun segera memutar balik haluan kapal menuju Teluk Mandar. Setelah menempuh perjalanan selama lima hari lima malam, akhirnya mereka pun tiba di Teluk Mandar. Ayah Bekkandari segera mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah yang tertinggal di rumahnya, lalu kembali berlayar menuju ke Pulau Jawa. Alangkah terkejutnya juragan kaya itu beserta anak buahnya, karena hanya dalam waktu dua hari dua malam, mereka sudah sampai di Pulau Jawa. Setibanya di Pulau Jawa, ayah Bekkandari langsung membawa semua minyak kelapanya ke kediaman Mara`dia Jawa. Alangkah senang hati Mara`dia Jawa, karena ayah Bekkandari membawakannya banyak minyak kelapa untuk ia jual kembali kepada padagang dari luar negeri. Begitu pula ayah Bekkandari, ia merasa senang sekali, karena semua minyak kelapanya habis terjual. Setelah membeli segala kebutuhannya, ia bersama rombongannya segera kembali ke Tana Mandar. Di tengah perjalanan, ayah Bekkandari kembali dikejutkan oleh kejadian aneh. Sudah empat hari empat malam mereka menempuh perjalanan, namun kapal yang mereka tumpangi belum juga sampai di Teluk Mandar. Melihat keadaan itu, ayah Bekkandari langsung teringat pada minyak kelapa milik ibu Hawadiyah. Ia pun segera memeriksa ruangan tempat penyimpanan barang di kapalnya. Alangkah terkejut ketika ia melihat minyak kelapa itu masih ada di tempatnya. Rupanya, ia lupa menjualnya kepada Mara`dia Jawa. Akhirnya, ia pun segera memerintahkan nahkodanya untuk kembali ke Pulau Jawa. Setelah menjual minyak kelapa tersebut, hanya dalam waktu dua hari dua malam, ia bersama rombongannya sudah tiba di Tana Mandar, Sulawesi Barat. Sementara itu, Mara`dia Jawa sedang asyik mengamati sebuah wadah bambu berisi minyak kelapa yang diberikan terakhir oleh ayah Bekkandari. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa itu setelah membuka tutup wadah minyak kelapa itu. Tiba-tiba ia melihat wajah seorang gadis cantik yang memantul dari permukaan minyak. Wajah cantik itu tidak lain adalah wajah si gadis miskin, Hawadiyah. ”Hei… bukankah gadis ini yang sering hadir dalam mimpiku?” tanya Mara`dia Jawa dalam hati. Kali ini, Mara`adia Jawa benar-benar yakin dengan keberadaan gadis yang sering hadir di dalam mimpinya itu. Ia pun berniat untuk pergi mencarinya ke Tana Mandar. Dua minggu kemudian, ketika ayah Bekkandari datang mengantarkan minyak kelapa kepadanya, ia pun ikut serta bersama ayah Bekkandari yang akan pulang ke Tana Mandar. Selama dalam perjalanan, ia selalu berharap agar dapat menemukan gadis impiannya itu. Setibanya di Mandar, Mara`dia Jawa tinggal di rumah keluarga Bekkandari untuk beberapa hari lamanya. Sejak pertama datang, penguasa tanah Jawa itu senantiasa mendapat jamuan istimewa dari keluarga Bekkandari. Berbagai macam makanan dan minuman khas Mandar dihidangkan. Rupanya, putri si juragan minyak yang bernama Bekkandari, diam-diam jatuh hati kepadanya. Ia seringkali mencari-cari perhatian, agar Mara`dia Jawa itu suka kepadanya. Mara`dia Jawa pun sebenarnya tahu maksud gelagat Bekkandari, akan tetapi ia merasa bahwa bukan dialah gadis yang ia inginkan. Pada suatu pagi, ketika Mara`dia Jawa bersama ayah Bekkandari sedang duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng hangat, tiba-tiba seorang gadis lewat di depan rumah itu. Ia pun langsung terperangah melihat gadis itu. ”Hei, siapa gadis itu? Sepertinya aku pernah melihatnya,” tanya Mara`dia Jawa kepada ayah Bekkandari. ”Maksud Tuan gadis yang baru lewat itu?” ayah Bekkandari balik bertanya. ”Iya, Pak!” jawab Mara`dia Jawa singkat. ”Gadis itu bernama Hawadiyah. Ia seorang yatim dan miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah panggung yang hampir roboh di ujung desa ini,” jelas ayah Bekkandari. ”Mereka adalah buruh di kebun kelapaku,” tambah ayah Bekkandari dengan nada sombong. Mara`dia Jawa hanya tersenyum mendengar penjelasan juragan minyak kelapa itu. Ketika hari menjelang siang, Mara`dia itu hendak menemui gadis itu. Saat ia berada di ujung desa, tampaklah sebuah rumah panggung yang sudah tua. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia sudah bocor. Dindingnya yang terbuat dari gedek pun banyak yang berlubang-lubang. Dengan perasaan ragu-ragu, ia pun mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis cantik membuka pintu. Ia seakan-akan tidak percaya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya sama persis dengan gadis yang selalu hadir di dalam mimpinya. ”Tidak salah lagi, inilah gadis yang sering menemuiku di dalam mimpi,” kata Mara`dia Jawa dalam hati dengan perasaan senang, karena telah menemukan gadis impiannya. Pada saat itu pula Mara`dia Jawa pun langsung meminang Hawadiyah dan berniat untuk membawanya pulang ke Pulau Jawa. Ia berencana akan melangsungkan pesta pernikahannya di Pulau Jawa dengan penuh kemeriahan. Mendengar kabar itu, Bekkandari menjadi iri hati dan dendam kepada Hawadiyah. Ia pun segera mencari cara untuk menggagalkan pernikahan mereka. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan caranya, yakni mencelakai Hawadiyah. ”Maaf, Tuan! Bolehkah hamba ikut bersama kalian ke Pulau Jawa? Hamba ingin menyaksikan pesta pernikahan kalian,” pinta Bekkandari kepada Mara`dia Jawa. ”Dengan senang hati,” jawab Mara`dia Jawa sambil mengangguk-anggukan kepala. Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal milik ayah Bekkandari. Di tengah perjalanan, Bekkandari menyuruh beberapa orang anak buah ayahnya untuk menculik Hawadiyah. Setelah menyekap gadis miskin itu di sebuah ruang tersembunyi, Bekkandari segera mengambil tadzu[1] dan menyiramkannya ke wajah Hawadiyah. Sungguh malang nasib gadis miskin itu. Wajahnya yang semula halus dan lembut tiba-tiba berubah menjadi kasar dan keras. Setelah itu, Bekkandari melepaskan Hawadiyah untuk menemui calon suaminya. Hawadiyah pun tidak berani menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya, karena Bekkandari mengancam akan membunuhnya. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa ketika melihat wajah calon permaisurinya. ”Hei… apa yang terjadi denganmu? Kenapa wajahmu rusak begitu?” tanya Mara`dia Jawa penasaran. ”Maafkan Dinda, Kanda! Dinda terlalu ceroboh. Ketika berkeliling-keliling di kapal ini, tiba-tiba Dinda ketumpahan tadzu,” jawab Hawadiyah yang harus berbohong kepada calon suaminya. Mendengar jawaban itu, Mara`dia Jawa tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Namun ketika mereka sampai di Pulau Jawa, rupanya ibu Mara`dia Jawa tidak sudi menerima Hawadiyah sebagai menantunya. Akhirnya, Hawadiyah pun diasingkan ke sebuah tempat untuk dijadikan penjaga sawah Mara`dia Jawa. Sementara, Bekkandari dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Pada suatu hari, beberapa orang pengawal Mara`adia Jawa mengantarkan makanan untuk Hawadiyah. Alangkah terkejutnya para pengawal itu ketika ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk di rumah-rumah sawah. ”Hei, kamu siapa? Ke mana si gadis buruk rupa itu?” tanya salah seorang pengawal. ”Maaf, Tuan! Akulah Hawadiyah, si gadis buruk rupa itu,” jawab Hawadiyah sambil tersenyum. Mendengar jawaban itu, para pengawal Mara`dia Jawa tersebut tersentak kaget. Mereka seakan-akan tidak percaya jika gadis yang di hadapan mereka adalah Hawadiyah. ”Bagaimana kamu bisa berubah menjadi cantik seperti itu?” seorang pengawal kembali bertanya kepada Hawadiyah. Hawadiyah pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, bahwa dia bisa kembali menjadi cantik setelah berkali-kali mandi di sungai atas perintah seekor burung kakaktua. Kemudian ia juga menceritakan semua peristiwa yang menyebabkan wajahnya menjadi jelek. Maka sejak itu, perilaku buruk Bekkandari terbongkar. Setelah mendengar cerita Hawadiyah, para pengawal tersebut segera melapor kepada Mara`dia Jawa. Semula, Mara`dia Jawa tidak percaya dengan laporan para pengawalnya itu. Namun, karena penasaran, akhirnya ia pun bergegas menuju ke sawah. Sesampainya di sawah, ia tersentak kaget ketika melihat wajah Hawadiyah kembali menjadi cantik seperti semula. Ia pun langsung memeluk gadis yang dicintainya itu dengan erat. ”Maafkan Kanda, Dinda! Kanda sudah mengetahui semuanya. Ternyata selama ini Kanda dibohongi oleh Bekkandari,” ucap Mara`dia Jawa. Akhirnya, Mara`dia Jawa mengajak Hawadiyah kembali ke istana untuk melangsungkan pernikahan mereka. Sesampai di istana, ia pun langsung mengusir Bekkandari kembali ke desa halamannya, di Tana Mandar. Sejak itu pula, Mara`dia Jawa memutuskan hubungan dagang dengan ayah Bekkandari. Pesta pernikahan Mara`dia Jawa dengan Hawadiyah dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Undangan yang datang dari berbagai negeri turut berbahagia menyaksikan kedua mempelai. Sejak itu, Hawadiyah hidup bahagia bersama suaminya dan seluruh keluarga istana Kerajaan Jawa. Demikian cerita Mara`dia Jawa dari kawasan Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sifat dengki dan iri hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Bekkandari yang telah menyiramkan tadzu ke wajah Hawadiyah, agar dialah yang akan dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Akibatnya, ia pun diusir dari istana Kerajaan Jawa setelah semua perbuatannya diketahui oleh Mara`dia Jawa. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu kalau suka dengki mendengki, orang muak Tuhan pun benci Pelajaran lain yang dapat dipetik dari Cerita Rakyat Nusantara Sulawesi Barat di atas adalah bahwa sifat dengki dan iri hati dapat membutakan hati seseorang. Jika hati sudah buta, seseorang dapat melakukan penganiayaan kepada orang lain. aca juga Dongeng Cerita Anak Yang Mendidik dari Sulawesi Tengah dan posting terbaik lainya yaitu Cerita Dongeng Indonesia Pendek dari Sulawesi Utara
cerita rakyat sulawesi barat